KMA : "Aparatur Peradilan Harus Melayani Dengan Sepenuh Hati" 


Mahkamah Agung dalam cetak biru pembaharuan peradilan 2010 – 2035, telah menuangkan upaya perbaikan untuk mewujudkan Badan Peradilan Indonesia yang Agung, yang salah satu upayanya adalah berorientasi pada pelayanan publik yang prima. salah satu misi yang telah ditetapkan yakni memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan. Oleh karena itu menjadi keharusan bagi setiap Badan Peradilan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memberikan jaminan proses peradilan yang adil. 

Tuntutan publik terhadap layanan lembaga peradilan semakin meningkat seiring dengan makin massifnya penggunaan teknologi informasi serta berbagai regulasi yang membuka ruang kepada publik untuk mengakses informasi dan mendapatkan layanan yang prima dari lembaga-lembaga publik. Pada kondisi demikian, aparatur peradilan harus semakin membuka diri terhadap perubahan serta adaptif terhadap perkembangan yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan laporan Ombudsman Republik Indonesia, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu 2014-2016, Pengadilan Negeri merupakan lembaga peradilan yang paling banyak diadukan yaitu sebanyak 394 aduan dengan jenis mal administrasi yang paling banyak dikeluhkan publik adalah penundaan perkara yang berlarut-larut sebanyak 215 aduan, tidak kompeten dalam melaksanakan kinerja dalam sistem peradilan sebanyak 117 aduan, dan penyimpangan prosedur sebanyak 115 aduan.

Kesemua laporan tersebut hendaknya menjadi perhatian serius bagi semua aparatur peradilan untuk terus berbenah karena tuntutan publik terhadap pelayanan peradilan yang berkualitas semakin tinggi. “Aparatur peradilan sudah tidak selayaknya lagi mempertahankan budaya ingin dilayani tapi harus berparadigma melayani dengan sepenuh hati dan penuh keikhlasan”, tutur Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH., MH dalam sambutan peresmian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (one gate integrated service), Pendaftaran gugatan secara online dan e-persuratan.

Sedangkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Dr. Herry Swantoro, SH., MH mengemukakan bahwa dalam sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pelayanan harus terwujud menjadi terstruktur dan terukur (direct service) pada akhirnya akan menghasilkan perwujuddan speedy justice dan menghasilkan stigma buruk serta cap sebagai kinerja yang menghasilkan adagium “Justice delayed justice denied” dapat dihilangkan. Apabila keadilan diterapkan terlambat, maka sama saja tidak ada keadilan, ibarat pepatah mengatakan “Justice and efficiency go hand in hand”, keadilan dan efisiensi itu harus selalu bergandengan tangan. penyelenggaraan peradilan yang tidak efisien dan tidak efektif akan berujung pada hambatan memperoleh keadilan itu sendiri.

Acara yang berlangsung pada jum’at, 25 agustus 2017 di aula gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini, juga dihadiri oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Ketua kamar, Hakim Agung, Pejabat eselon I dan II, Ketua Pengadilan Tinggi, serta para Ketua Pengadilan Negeri sewilayah Jabodetabek. â€œKita menyadari bahwa tidak semua sumber daya aparatur peradilan sudah melek teknologi namun tiada kata terlambat untuk belajar. Aparatur peradilan tidak boleh terlena berada dalam zona nyaman (comfort zone) karena mereka yang tidak siap dengan perubahan, maka harus siap tergilas dengan perubahan itu sendiri, tegas Hatta Ali. 

Berita ini dikutip dari Situs Resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia

(@x_cisadane)

Tekan play untuk mengaktifkan fitur baca