Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) dan Kaitannya dengan Peradilan di Indonesia
Jakarta - ditjenmiltun.net. Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business) adalah salah satu faktor penentu dalam kelancaran layanan administrasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah, sebut saja misalnya layanan perpajakan yang terwujud dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) secara online. Demi mewujudkan kemudahan dalam berusaha bagi para wajib pajak, Direktorat Jederal Pajak (DJP) terus mengembangkan sistemnya agar administrasi pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) menjadi lebih sederhana dan modern, yaitu dengan mewajibkan pelaporan pajak secara online, atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-Filing. Lantas, bagaimana dengan dunia Peradilan? Apa kaitannya kemudahan dalam berusaha dengan dunia Peradilan di Indonesia? Sejauh mana upaya Mahkamah Agung? Silahkan disimak dalam artikel berikut.
Sebelum membahas korelasi antara kemudahan dalam berusaha dengan dunia Peradilan di Indonesia, alangkah baiknya memahami terlebih dahulu apa itu Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business)? Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business) ialah sebuah indeks yang dikaji oleh Bank Dunia yang mencerminkan daya tarik investasi dari segi kebijakan Pemerintah. Dengan adanya Ease of Doing Business, Pemerintah dapat melihat respon-respon pelaku usaha terkait dengan regulasi yang ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Bank Dunia per tanggal 30 Oktober 2017, peringkat Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business) Negara Indonesia beranjak dari urutan 91 ke urutan 72. Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan instruksi (tahun 2016) untuk meningkatkan Peringkat Kemudahan dalam berusaha ke urutan 40.
Ada 10 (sepuluh) parameter/indikator yang diukur dalam Ease of Doing Business, namun 2 (dua) diantaranya memiliki relasi dengan dunia Peradilan di Indonesia, yaitu Penegakan Kontrak (enforcing contract) dan Penanganan Perkara Kepailitan (resolving insolvency). 2 (dua) parameter/indikator ini erat kaitannya dengan Pengadilan Niaga.
Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) dan Kaitanya dengan Peradilan di Indonesia
Jakarta - ditjenmiltun.net. Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business) adalah salah satu faktor penentu dalam kelancaran layanan administrasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah, sebut saja misalnya layanan perpajakan yang terwujud dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) secara online. Demi mewujudkan kemudahan dalam berusaha bagi para wajib pajak, Direktorat Jederal Pajak (DJP) terus mengembangkan sistemnya agar administrasi pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) menjadi lebih sederhana dan modern, yaitu dengan mewajibkan pelaporan pajak secara online, atau yang lebih dikenal dengan sebutan e-Filing. Lantas, bagaimana dengan dunia Peradilan? Apa kaitannya kemudahan dalam berusaha dengan dunia Peradilan di Indonesia? Sejauh mana upaya Mahkamah Agung? Silahkan disimak dalam artikel berikut.
Sebelum membahas korelasi antara kemudahan dalam berusaha dengan dunia Peradilan di Indonesia, alangkah baiknya memahami terlebih dahulu apa itu Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business)? Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business) ialah sebuah indeks yang dikaji oleh Bank Dunia yang mencerminkan daya tarik investasi dari segi kebijakan Pemerintah. Dengan adanya Ease of Doing Business, Pemerintah dapat melihat respon-respon pelaku usaha terkait dengan regulasi yang ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Bank Dunia per tanggal 30 Oktober 2017, peringkat Kemudahan dalam berusaha (Ease of Doing Business) Negara Indonesia beranjak dari urutan 91 ke urutan 72. Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan instruksi (tahun 2016) untuk meningkatkan Peringkat Kemudahan dalam berusaha ke urutan 40.
Ada 10 (sepuluh) parameter/indikator yang diukur dalam Ease of Doing Business, namun 2 (dua) diantaranya memiliki relasi dengan dunia Peradilan di Indonesia, yaitu Penegakan Kontrak (enforcing contract) dan Penanganan Perkara Kepailitan (resolving insolvency). 2 (dua) parameter/indikator ini erat kaitannya dengan Pengadilan Niaga.
Dalam kontribusinya terhadap peningkatan Indeks Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business), Mahkamah Agung menciptakan beberapa terobosan, diantaranya :
- Menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana atau lebih akrab disebut dengan Small Claim Court.
- Menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Mediasi.
- Menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan.
- Menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
- Menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.
- Pembentukan Kelompok Kerja Kemudahan Berusaha melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 37/KMA/SK/II/2017.
- Menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
- Mengembangkan Aplikasi e-Court, yang fiturnya tidak hanya sekedar e-Filing saja, melainkan juga e-Register, e-Payment, e-Notification dan e-Summon.
Berikut ini disajikan tabel Peringkat Kemudahan Berusaha per-indikator
Indikator | EODB 2016 | EODB 2017 | EODB 2018 |
Memulai Usaha | 167 | 151 | 144 |
Pengurusan Izin Bangunan | 113 | 116 | 108 |
Pendaftaran Properti | 123 | 118 | 106 |
Mendapatkan Layanan Listrik | 61 | 49 | 38 |
Pembayaran Pajak | 115 | 104 | 114 |
Memperoleh Kredit | 70 | 62 | 55 |
Perlindungan Terhadap Investor | 69 | 70 | 53 |
Perdagangan Lintas Batas | 113 | 108 | 112 |
Penegakan Kontrak | 171 | 166 | 145 |
Penanganan Perkara Kepailitan | 74 | 76 | 38 |
Sebagaimana dijelaskan dalam paragraf di atas, terdapat 2 (dua) parameter/indikator yang erat kaitannya dengan dunia Peradilan, yaitu Penegakan Kontrak (enforcing contract) dan Penanganan Perkara Kepailitan (resolving insolvency). Berdasarkan tabel di atas, Penegakan Kontrak berada di level lebih dari 100 (seratus), tepatnya ialah 145 (seratus empat puluh lima), dengan demikian Penanganan Kontrak merupakan prioritas pemerintah untuk ditingkatkan. Sementara itu untuk Penanganan Perkara Kepailitan berada di peringkat 38 (tiga puluh delapan), hal ini membuktikan adanya kenaikan yang cukup signifikan, namun masih ada peluang untuk terus ditingkatkan. Sebagai catatan, indikator yang mengalami perbaikan tajam adalah Penanganan Perkara Kepailitan (meranjak 36 peringkat), Penegakan Kontrak (naik 26 peringkat), dan Mendapatkan Layanan Listrik (naik 23 peringkat).
Berikut ini disampaikan data Penegakan Kontrak (enforcing contract)
Parameter | EODB 2017 | Target Tahap I Pemerintah RI | Hasil EODB 2018 |
Quality of Judicial Proses Index (1-18) | Struktur Peradilan dan Hukum Acara (0-5) -> [3] Manajemen Perkara (0-6) -> [2] Otomasi Pengadilan (0-4) -> [0,5] ADR (0-3) -> [2,5] Total [8] | Struktur Peradilan dan Hukum Acara (0-5) -> [3] Manajemen Perkara (0-6) -> [3] Otomasi Pengadilan (0-4) -> [1] ADR (0-3) -> [2,5] Total [9,5] | Struktur Peradilan dan Hukum Acara (0-5) -> [3] Manajemen Perkara (0-6) -> [2] Otomasi Pengadilan (0-4) -> [0,5] ADR (0-3) -> [2,5] Total [8] |
Time (days) | 471 Hari | 91 Hari | 390 Hari |
Cost (% of Claim of IDR 80 million) | 115,7% | 26,32% | 74% |
Skor Ease of Enforcing Contract | 38,5 | 71,65 | 47,23 |
Ranking Enforcing Contract | 166 dari 190 Negara | 24 dari 90 Negara | 145 dari 90 Negara |
Terlihat bahwa kenaikan ada pada parameter time (waktu) dan cost (biaya), dimana dalam data yang tersaji pada tabel di atas diketahui bahwa waktu penyelesaian perkara berhasil naik ke-390 (tiga ratus sembilan puluh) hari, namun masih jauh dari target penyelesaian perkara berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 yang menargetkan 91 (sembilan puluh satu) hari dan biaya perkara yang hanya 26.32%.
Berikut ini disajikan data Biaya Penegakan Kontrak (Kalkulasi ulang biaya gugatan total dengan asumsi sengketa adalah senilai Rp 80 Juta)
Tahun Lalu | Target MA RI | Tahun 2018 | |
Biaya Advokat | 90% dari Gugatan Total | 15% dari Total Gugatan | 50% dari Total Gugatan |
Biaya Pendaftaran Perkara | 3,1% dari Gugatan Total | 1,28% dari Total Gugatan | 13% dari Total Gugatan |
Biaya Eksekusi | 25% dari Gugatan Total | 10,4% dari Total Gugatan | 11% dari Total Gugatan |
Total | 115,7% dari Gugatan Total | 26,32% | 74% dari Total Gugatan |
Berikut ini disajikan data Waktu Penegakan Kontrak
Tahun Lalu | Target MA RI | Tahun 2018 | |
Fase Penerimaan Gugatan dan Pemanggilan | 60 Hari | 5 Hari (PerMA 02 tahun 2015) | 60 Hari |
Sidang dan Putusan | 220 Hari | 25 Hari (PerMA 02 tahun 2015) | 150 Hari |
Pelaksanaan Putusan | 180 Hari | Permohonan aanmaning : 18 Hari Waktu Tunggu aanmaning : 8 Hari Permohonan Sita Eksekusi : 9-14 Hari Permohonan Eksekusi Lelang : 6 Hari Pelaksanaan Lelang pada Kantor Lelang : 10 Hari Total Hari : 51 Hari | 180 Hari |
Total | 471 Hari | 91 Hari | 390 Hari |
Berikut ini disampaikan data Penanganan Perkara Kepailitan (resolving insolvency)
Parameter | EODB 2017 | Target MA RI | Hasil EODB 2018 |
Recovery Rate (Sen per $1 USD) | 29,9 | 50 | 64,3 |
Rerata Waktu Penyelesaian Kepailitan | 2,0 | 0,816 Tahun (sesuai skenario 295 Hari) | 1,1 |
Biaya Penyelesaian Kepailitan (% dari budel) | 22 | 15 (Asumsi Penurunan Biaya Kepailitan Pasca Perbaikan) | 22 |
Hasil Penjualan (0 sebagai Penjualan per-Aset dan 1 sebagai penjualan unit usaha aktif) | 0 | 1 | 1 |
Indeks Kekuatan Kerangka Insolvensi | 9,5 | 12,5 (Penambahan Pasca Perbaikan di 3 Aspek : Penunjukkan Kurator, Keterbukaan Informasi dan Jangka Waktu) | 10,5 |
Peringkat Resolving Insolvensi | 76 | 53 | 38 |
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari keseluruhan tabel yang disajikan dalam artikel ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kenaikan peringkat Negara Indonesia dalam Survey Kemudahan dalam Berusaha (Ease of Doing Business) 2018 sudah cukup baik. Untuk meningkatkan kualitas Penegakan Kontrak (enforcing contract) Mahkamah Agung telah mengembangkan Aplikasi e-Court, yang fiturnya tidak hanya sekedar e-Filing saja, melainkan juga e-Register, e-Payment, e-Notification dan e-Summon. Dengan kehadiran Aplikasi e-Court yang saat ini telah terintegrasi dengan Aplikasi Percepatan Penyelesain Perkara (Sistem Informasi Penelusuran Perkara/SIPP) diharapkan dapat memangkas time (waktu) dan cost (biaya) yang merupakan parameter dalam Penegakan Kontrak (enforcing contract).
Aplikasi-aplikasi seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara/SIPP, Sistem Administrasi Perkara (SIAP), Direktori Putusan dan juga Aplikasi e-Court berperan dalam proses peningkatan ranking Survey Kemudahan dalam Berusaha, Mengapa demikian? Karena dengan hadirnya aplikasi-aplikasi tersebut secara langsung memberikan kontribusi di dalam Perbaikan Kualitas Data Perkara. Tentunya peran para pencari keadilan (responden) sangat penting untuk menyampaikan perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Survey Kemudahan dalam Berusaha (Ease of Doing Business) 2019 yang akan datang.
(@x_cisadane)